Surat dari Brume


12 Maret 2016
Susi,

Seperti segala yang mula memiliki akhir, yang datang pun memang telah ditakdirkan untuk pergi, cepat atau lambat. Begitu pula usia yang berlari dari kejaran waktu juga tanggal dari kalender tahun-tahun berikutnya yang siap dan tak sempat menangkap kau sekali lagi.

“Kau tahu,” kata Ra, “kupikir, jika usiamu seperti uang, maka pengalaman-pengalaman itu adalah hasil belanjaan yang setiap perempuan akan bawa pulang kembali ke rumah-rumahnya. Kauolah, lalu hidangkan bagi keluarga kecilmu di sana. Kau harus memiliki pasokan yang mumpuni, karena kau hanya bisa berbelanja satu kali. Tak ada yang bisa ditukar kembali, tak ada hari esok lagi.”

Tidak ada yang sungguh-sungguh bisa dirayakan pada hari ulang tahun jika seseorang tidak tahu perihal yang mesti ia syukuri. Penyesalan adalah cara waktu menyidir ketidakberdayaan manusia terhadapnya. Jika ada yang patut dirayakan, itu adalah jumlah kesalahan-kesalahan yang tidak kungkung dalam sesal berkepanjangan.

Selamat ulang tahun, Susi. Ingat saja, setiap detik berikutnya adalah pecahan-pecahan kado dari Tuhan. Jika itu tidak cukup membuatmu mengerti arti ulang tahun, aku tidak tahu apa yang lebih baik. Kebahagiaan kudoakan untukmu beserta apa pun yang mampu dirangkul kedua lenganmu. Terima kasih telah menjadikan aku teman.

Salam pena,

Brume

P.S: Sungguh minta maaf atas keterlambatan ini.
P.P.S: Jangan terlalu percaya dengan apa-apa yang aku tuliskan. Aku lebih buruk dari yang kau bayangkan.

____________________________

Brume, terima kasih sudah menyempatkan diri menulis untukku. Ah, setidaknya meskipun sekali aku bisa merasakan menjadi “Ra” yang membaca surat yang kau tuliskan untukku 🙂

“Selamat ulang tahun, Susi. Ingat saja, setiap detik berikutnya adalah pecahan-pecahan kado dari Tuhan. Jika itu tidak cukup membuatmu mengerti arti ulang tahun, aku tidak tahu apa yang lebih baik.” kau benar Brume, segala hal sesungguhnya adalah hadiah Tuhan, hanya saja seringkali aku merasa sudah tiba saatnya membuka hadiah tersebut dan kemudian bersedih ketika isinya tidak sesuai yang aku ingini. Aku lupa bahwa semua hanya pecahan yang masih harus terus aku susun dari waktu ke waktu dari tawa pun air mata, hingga kelak di hari akhir aku membukanya tanpa ada penyesalan.
Kau benar, penyesalan adalah cara waktu menyindir ketidakberdayaan manusia. Aku berharap disetiap waktu yang aku lewati nanti, akan semakin jarang kujumpai penyesalan-penyesalan.

Sekali lagi terima kasih sudah bersedia menulis dan berteman denganku yang rewel ini.
Kau tahu, aku selalu suka menyelami kata-katamu dan memilih tenggelam demi untuk membacanya lagi dan lagi.

Salam,